Sabtu, 26 Juli 2008

Sistem Peradilan Pidana

RELEVANSI KEJAKSAAN DENGAN KPK DALAM UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI SISTEM PERADILAN PIDANA

Oleh : R. Indra Senjaya, SH.,MH.


A. Latar Belakang Masalah

Akhir-akhir ini persoalan mengenai fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia memang selalu menjadi persoalan yang sangat hangat untuk dibicarakan. Beberapa hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan dengan proses penegakan hukum tersebut antara lain adalah mengenai masalah pemberantasan tindak pidana korupsi. Menyikapi fenomena ini, pemerintahan yang silih berganti selalu menjadikan kalimat pemberantasan korupsi sebagai agenda utama kegiatannya. Berbagai perangkat undang-undang beserta segala peraturan pelaksanaannya yang berkaitan dengan korupsi telah dibuat sebagai bukti keseriusan dari para penguasa dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. Usaha pemberantasan korupsi jelas tidak mudah, kesulitan itu terlihat semakin rumit, karena korupsi kelihatan benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat. Meski demikian, berbagai upaya tetap dilakukan, sehingga secara bertahap korupsi setidak-tidaknya bisa dikurangi, jika tidak dilenyapkan sama sekali. Konsekuensi negara menetapkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) harus dibarengi dengan adanya langkah-langkah ekstra untuk memberantas korupsi dalam bentuk sistem yang luar biasa dan juga setiap elemen negara harus bergerak bersama di dalam usaha pemberantasan korupsi.

Permasalahan korupsi sudah berada pada kondisi yang mengkhawatirkan, karena sudah menjadikan orang tidak normal lagi dalam sikap, perilaku dan nalar berpikirnya. Permasalahan korupsi tidak lagi terbatas pada mencuri uang, tetapi lambat laun juga merasuk ke dalam mental, moral, tata nilai dan cara berpikir. Salah satu akibatnya dalam praktik penyelenggaraan negara adalah hilangnya integritas dan moral oleh materialisme, dan egosektoral/departemental yang sangat besar. Ketidak maksimalan upaya pemberantasan korupsi selama ini juga tidak lepas dari kurangnya dukungan politis terutama dari para penyelenggara negara, baik dari lembaga legislatif, eksekutif maupun judikatif. Tanpa adanya dukungan politik yang kuat serta kesungguhan segenap aparat penyelenggara negara umumnya dan aparat penegak hukum khususnya serta peran aktif masyarakat dalam melakukan pengawasan maka upaya memberantas korupsi akan sulit dilakukan. Berdasarkan kondisi tersebut upaya-upaya untuk melakukan berbagai pembenahan dan perbaikan dalam memberantas korupsi di Indonesia memerlukan kemauan dan tekad yang besar dari semua pelaku pembangunan. Sub bidang penyelenggaraan negara. Upaya-upaya reformasi birokrasi yang telah dilakukan melalui kegiatan yang rasional dan realistis masih memerlukan berbagai penyempurnaan. Banyak permasalahan yang dihadapi pada masa-masa sebelumnya belum sepenuhnya teratasi. Dari sisi internal berbagai faktor seperti demokrasi, desentralisasi dan internal birokrasi itu sendiri masih akan berdampak pada tingkat kompleksitas permasalahan. Sedangkan dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi juga akan kuat berpengaruh terhadap pencarian alternatif-alternatif kebijakan dalam bidang penegakan hukum

Menindak lanjuti semangat reformasi hukum dan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pelaksanaan teknis pemberantasan tindak pidana korupsi presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK). Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan dapat mewadahi koordinasi anatara Kepolisian, Kejaksaan, instansi terkait, dan unsur masyarakat dalam upaya penanganan kasus-kasus korupsi secara lebih efektif tetapi lembaga ini akhirnya bubar dikarenakan upaya judicial review yang dilakukan oleh tersangka kasus korupsinya. Rangkaian peraturan perundang-undangan tersebut merupakan awal dari lahirnya lembaga-lembaga negara baru yang berkompetensi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, yang diharapkan dapat lebih mengefektifkan penanganan tindak pidana korupsi, di mana kewenangan ini sebelumnya hanya ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan seperti layaknya tindak pidana biasa.

Strategi penanggulangan korupsi hendaknya bukan mengarah ada penanggulangan korupsi itu sendiri melainkan penanggulangan “kausa dan kondisi yang menimbulkan terjadinya korupsi”, penanggulangan korupsi lewat penegakan hukum pidana hanya merupakan penanggulangan simptomatik, sedangkan penanggulangan kausa dan kondisi yang menimbulkan terjadinya korupsi merupakan penanggulan kasusatif [1].

Kejaksaan RI merupakan lembaga penegak hukum yang memiliki kedudukan sentral dalam upaya penegakan hukum di Indonesia, kejaksaan merupakan salah satu subsistem dari sistem peradilan pidana di Indonesia. Sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) di Indonesia hanya mengenal 4 (empat) subsistem, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Tugas dan kewenangan kejaksaan dalam lingkup peradilan semakin dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana posisi Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan dalam sistem peradilan pidana. Namun dalam perkara tindak pidana korupsi, kejaksaan diberikan kewenangan untuk menyidik perkara tersebut. Kejaksaan juga dianggap sebagai pengendali proses perkara dikarenakan hanya institusi kejaksaan yang dapat menentukan suatu kasus dapat dilimpahkan ke pengadilan atau tidak, disamping itu kejaksaan juga merupakan satu-satunya institusi pelaksana putusan pidana.

Berdasarkan Pasal 30 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, di bidang pidana kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a. Melakukan penuntutan
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat,
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang
e. Melengkapi berksa perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Penjelasan Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 menyebutkan kejaksaan di dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum turut menyelenggarakan :
a. Peningkatan ksadaran hukum masyarakat
b. Pengamanan kebijakan hukum
c. Pengamanan peredaran barang cetakan
d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara
e. Pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama
f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik criminal


Kejaksaan ditetapkan sebagai lembaga pemerintah dan kedudukan jaksa agung setingkat menteri Negara, sebagai pembantu presiden, yang secara tegas diangkat, diberhentikan dan bertanggung jawab kepada presiden.

Didasari ketidakpercayaan terhadap instansi penegak hukum yang telah ada dalam pemberantasan korupsi, maka eksekutif dan legislatif membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat menjadi KPK. Keberadaan komisi ini mengacu pada The Independent Comission Against Corruption (ICAC) yang didirikan oleh pemerintah Hongkong pada tahun 1974.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah salah satu lembaga negara baru yang dibentuk dengan semangat reformasi hukum dalam penegakan tindak pidana korupsi, yang dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat menjadi KPK, merupakan suatu komisi khusus yang dasar pendiriannya diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan secara lebih dalam diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Tujuan dibentuknnya KPK tidak lain adalah meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK berwenang menindak siapa pun yang dipersangkakan melakukan tindak Pidana Korupsi. Secara tegas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan, KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tunduk kepada hukum acara yang berlaku. KPK dapat dikategorikan sebagai badan khusus (ad hoc) yang berwenang untuk melakukan penanganan kasus-kasus korupsi tertentu seperti yang diisyaratkan oleh Pasal 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK, yaitu:
1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara,
2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat,
3. Menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).


KPK sebagai lembaga baru yang notabene aparaturnya pun mengambil dari instansi penegak hukum yang telah ada tentu akan mengalami ketidaksempurnaan dalam pelaksanaan tugasnya, dikarenakan kesempurnaan sebuah lembaga dapat tercipta ketika lembaga tersebut melakukan pembenahan didasari dari pengalamannya, dengan kata lain segala kelemahan lembaga tersebut dapat diketahui setelah mengalami perjalanan di dalam pelaksanaan tugasnya. Disisi lain dengan aparaturnya yang terbatas dan pertimbangan biaya yang sangat besar, keberadaan KPK pun tidak sampai ke daerah-daerah. Hal ini juga dapat menghambat tugas pemberantasan korupsi secara menyeluruh oleh KPK apabila tidak dilakukan pembenahan juga terhadap instansi penegak hukum yang telah ada.

Pembentukan KPK dan Pengadilan khusus korupsi dalam pelaksanaannya tidak semudah yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan karena dalam praktek baik yang sudah terjadi atau baru diprediksikan akan terjadi, ternyata pelaksanaan kerja KPK dan terbentuknya Pengadilan Khusus Korupsi terbentur banyak kendala. Kendala tersebut antara lain, KUHAP mengatur bahwa proses penyidikan dan penuntutan merupakan tugas kejaksaan. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur bahwa KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kejaksaan. Disisi lain kejaksaan juga mempunyai kewenangan sebagai eksekutor terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK, dilihat dari hal tersebut maka KPK dengan kejaksaan akan selalu mempunyai hubungan koordinasi, baik dalam penanganan perkara korupsi maupun dalam hal eksekusi terhadap perkara yang ditangani oleh KPK, tetapi dengan adanya dualisme kewenangan tersebut maka hubungan kejaksaan dengan KPK cenderung dapat menjadi kurang harmonis.

Kendala lainnya terlihat dengan adanya perlawanan balik oleh pelaku korupsi mengharuskan pemerintah maupun legislatif untuk lebih berhati-hati dalam membentuk undang-undang pemberantasan korupsi karena ketidakpastian hukum yang timbul dari undang-undang yang dibentuk akan menjadikan celah untuk pelaku korupsi dalam melawan balik upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi, hal ini terlihat ketika adanya pengajuan beberapa judicial review oleh pelaku korupsi yang salah satunya judicial review mengenai Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengenai pemberian kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang ditafsirkan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Kepastian hukum menuntut ketegasan berlakunya suatu aturan hukum (lex certa) yang mengikat secara tegas dan tidak meragukan dalam pemberlakuannya”, dimana kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan adalah sudah merupakan tugas kejaksaan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana tetapi dengan adanya KPK menimbulkan dualisme kewenangan yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Secara umum hasil dari reformasi hukum yang sesuai dengan harapan dan rasa keadilan masyarakat, walaupun dari segi pembangunan materi hukum khususnya cukup banyak peraturan perundang-undangan yang dihasilkan. Namun pembangunan materi hukum yang tidak diikuti dengan perbaikan dan pembenahan kelembagaan, aparatur hukum dan sarana serta prasarana yang memadai pada akhirnya menyebabkan pembangunan hukum secara keseluruhan belum tercapai secara optimal. Bahkan banyak pendapat yang mengatakan walaupun peraturan perundang-undangan yang ada sangat lemah, namun apabila aparatur hukumnya profesional dan tidak diintervensi oleh pengaruh pihak-pihak yang berkepentingan, maka peraturan perundang-undangan tersebut dapat efektif daya lakunya. Di samping itu masih ditemui permasalahan antara lain proses pembentukan hukum belum sepenuhnya mengacu pada kepentingan publik, penerapan dan penegakan hukum yang belum berorientasi pada keadilan dan kepastian hukum, rendahnya akses publik untuk berpartisipasi, penggunaan hukum yang berkeadilan sebagai landasan pengambilan keputusan oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Dengan tujuan untuk memahami dan mengkaji fungsi lembaga KPK maupun kejaksaan dalam pemberantasan korupsi agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam pelaksanaan tugasnya dan dalam rangka membangun kembali kepercayaan publik terhadap peran dan citra lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan ataupun dalam rangka menjaga kewibawaan KPK, penulis tertarik untuk meneliti masalah ini dengan judul : “Relevansi Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kejaksaan RI dalam Upaya Penangulangan Tindak Pidana Korupsi Ditinjau dari Sistem Peradilan Pidana “

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan pada pemikiran dan uraian di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
Bagaimanakah Relevansi keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi ditinjau dari Sistem Peradilan Pidana ?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam pembahasan Fenomena hukum ini, lebih cenderung menjelaskan mengenai Relevansi kelembagaan antara Kejaksaan dengan Komisi Pemberantaan Korupsi (KPK) dalam hal penanggulangan tindak pidana korupsi ditinjau dari Sistem Peradilan Pidana.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
Untuk menganalisa relevansi kelembagan antara Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penanganan tindak pidana korupsi ditinjau dari Sistem Peradilan Pidana.

2. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat/kegunaan antara lain :
a. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa sumbangan pemikiran terhadap perkembangan dalam ilmu hukum.
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi aparat penegak hukum khususnya bagi Kejaksaan dan komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penanganan tindak pidana korupsi.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka Teoritis dalam penulisan ilmiah berfungsi sebagai pemandu untuk mengorganisasi, menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena dan atau objek masalah yang diteliti dengan cara mengkonstruksi keterkaitan antara konsep secara deduktif ataupun induktif. Oleh karena objek masalah yang diteliti dalam tesis ini berada dalam ruang lingkup ilmu hukum, maka konsep-konsep yang akan digunakan sebagai sarana analisis adalah konsep-konsep, asas-asas, dan norma-norma hukum yang dianggap paling relevan. Sebagai acuan pokok untuk mengorganisasi dan menganalisa masalah tesis ini, penulis mengunakan “ Konsep Sistem Peradilan Pidana ”.

Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interaksi, interkoneksi dan interpendensi (interface) dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat, masyarakat, ekonomi, politik, pendidikan, dan teknologi serta subsistem-subsistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri (subsystems of criminal justice system), salah satu indikator keterpaduan sistem peradilan pidana adalah “sinkronisasi” pelaksanaan penegakan hukum[2], selanjutnya sistem peradilan pidana harus dilihat sebagai sistem terbuka (open system) sebab pengaruh lingkungan seringkali berpengaruh terhadap keberhasilan sistem tersebut mencapai tujuannya.

Sebagai suatu sistem, peradilan pidana mempunyai perangkat struktur atau subsistem yang seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif agar dapat mencapai effisiensi dan effektivitas yang maksimal. kombinasi antara Effisiensi dan efektivitas dalam sistem sangat penting, sebab belum tentu efisiensi masing-masing subsistem dengan sendirinya menghasilkan efektivitas. Effektivitas sistem peradilan pidana, secara umum antara lain dapat diukur melalui indikator-indikator tingkat pengungkapan perkara oleh polisi (clearance rate), tingkat keberhasilan jaksa dalam membuktikan dakwaan (conviction rate), kecepatan penanganan perkara (speedy trial), tingkat penggunaan alternative pidana kemerdekaan (rate of alternative sanction), menonjol atau tidaknya disparitas (disparity of sentencing performance), dan tingkat residivisme (rate of recall to prison)[3].

Sistem peradilan pidana mempunyai dimensi fungsional ganda. Di satu pihak berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan pada tingkatan tertentu, di lain pihak sistem peradilan pidana juga berfungsi untuk pencegahan. Effektivitas sistem peradilan pidana tergantung sepenuhnya pada kemampuan infrastruktur pendukung sarana dan prasarananya, kemampuan profesional aparat penegak hukumnya serta budaya hukum masyarakatnya[4]. Tanpa kesadaran baik dari aparat penegak hukum, pembuat hukum, dan masyarakat dimana hukum akan diterapkan, maka penegakan hukum akan menjadi proses untuk mengabsahkan kekuatan yang absolut dengan pembenaran/justifiksasi hukum yang bersifat korup, otoriter, represif, yang sekaligus mencerminkan kepentingan dari para oligarki penguasa.

Dalam Konteks bekerjanya hukum di masyarakat, khususnya dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, kejaksaan dan KPK sebagai organisasi kenegaraan (birokrasi) diarahkan untuk mencapai tujuan negara, tujuan hukum dan tujuan sosial. Mengenai hal ini Peter M. Blau dan Marshall M. Meyer[5] menyatakan bahwa kini dalam masyarakat kontemporer birokrasi telah menjadi suatu lembaga yang menonjol, sebagai lembaga negara yang melambangkan era modern, dan kita tidak mungkin memahami kehidupan sosial masa kini kalau kita tidak mengerti tentang bentuk lembaga ini.

Di Indonesia Sistem peradilan Pidana setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mempunyai 4 (empat) subsistem, yaitu : subsistem Kepolisian yang secara administratif di bawah presiden, Kejaksaan di bawah Kejaksaan Agung, Pengadilan di bawah Mahkamah agung dan Lembaga Pemasyarakatan di bawah Departemen Kehakiman. Seluruh komponen sistem peradilan pidana, termasuk pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, ikut bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan. Meski demikian, menilik tugas dan wewenangnya masing-masing, tugas pencegahan kejahatan secara spesifik lebih terkait dengan sub sistem kepolisian. Sementara tugas lainnya lebih terkait dengan subsistem lembaga pemasyarakatan. Adapun tugas menyelesaikan kejahatan yang terjadi sangat terkait dengan tugas dua komponen sistem, yaitu polisi dan jaksa (pada tahap prajudisial) dan pengadilan (pada tahap judisial). Hubungan polisi dan jaksa sendiri terutama berkaitan dengan tugas penyidikan suatu tindak pidana. Untuk menghindari kesimpang-siuran tugas, penyalahgunaan kewenangan, tumpang tindihnya kewenangan, serta kegagalan mencapai tugas menyelesaikan kejahatan yang terjadi di masyarakat, perlu ada suatu hukum yang di dalamnya antara lain memuat siapa aparat penegak hukum yang oleh negara diberikan tugas penegakan hukum pidana, bagaimana tatacara penegakannya, apa saja tugas dan kewajibannya, serta apa sanksi bila ternyata pelaksanaannya tidak sesuai dengan cara atau tugas dan kewenangannya. Hukum tersebut dikenal sebagai hukum pidana formal atau hukum acara pidana, Wirjono Prodjodikoro (1970) merumuskan hukum acara pidana ini sebagai suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana. Oleh karena itu, keempat subsistem ini memiliki hubungan yang erat satu dengan yang lainnya dimana tujuannya adalah satu, tetapi tugasnya berbeda.

Di Indonesia Sistem Peradilan Pidana setelah KUHAP mempunyai 4 (empat) subsistem, yaitu subsistem kepolisian yang secara administratif berada di bawah presiden, Kejaksaan di bawah Kejaksaaan Agung, Pengadilan di bawah Mahkamah Agung dan Lembaga Pemasyarakatan di bawah Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Tujuan Sistem Peradilan pdana dapat dikaegorikan sebagai berikut :
a. Tujuan jangka pendek, yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana ;
b. Dikategorikan sebagai tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dituju lebih luas yakni pengendalian dalam pencegahan kejahatan dalam konteks kriminal (Criminal Policy) ;
c. Tujuan jangka panjang apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat (Sosial Welfare) dalam konteks politik sosial (Sosial Policy).[6]

Di dalam sistem peradilan pidana (Criminal justice system) terdapat adanya suatu input – proccess – output. Adapun yang dimaksud dengan input adalah laporan / pengaduan tentang terjadinya tindak pidana, dan yang dimaksudkan dengan proccess adalah sebagai tindakan yang diambil oleh Kepolsian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan yang dimaksud output adalah hasil-hasil yang diperoleh.

Herbert L. Packer dalam bukunya “The Limits of The criminal Sanction”, mengungkapkan ada 2 (dua) model dalam proses Peradilan Pidana yaitu Model Pengendalian Kejahatan (Crime Control Model) dan Model Perlindungan Hak (Due Process Model )[7]. Packer mengajak kita untuk memahami betapa rumitnya proses kriminal, dia berusaha mengambil karakteristik dari model-model yangh berlawanan. Perbedaan kedua model itu akan terlihat pada saat penangkapan sampai orang itu diputuskan bersalah. Adapun karakteristik dari Crime Control Model adalah efisiensi yang mana proses kriminal itu bekerja, cepat ditangkap dan diadili, seakan-akan tersangka itu bersalah, sedangkan Due Process Model, karakteristiknya adalah perlindungan hak-hak tersangka, untuk menentukan kesalahan seseorang harus melalui suatu persidangan. Dalam kenyataaanya kedua model ini sangat banyak mempengarui hukum acara pidana indonesia, karakteristik Due Process Model menonjol pada KUHAP yaitu dilindunginya hak-hak tersangka, namun dalam bekerjanya KUHAP, maka Crime Control Model yang paling menonjol.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah-istilah yang ingin atau akan diteliti dan dikaji. Sesuai dengan judul penelitian ini, ada beberapa istilah yang dapat diberikan definisi konseptualnya, yaitu :
a. Relevansi Komisi Pemberantasan Korupasi (KPK) dengan Kejaksaan adalah keterkaitan atau hubungan kelembagaan KPK dengan kejaksaan yang merupakan bagian dari Sistem Peradilan Pidana.
b. Upaya penanggulangan Tindak Pidana Korupsi adalah proses dilakukannya upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilkukan oleh eksekutif maupun legislatif dengan tujuan mencapai kesejahteraan masyarakat, upaya tersebut juga dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.Sistem Peradilan Pidana adalah suatu sistem hukum yang didalamnya terdapat subsistem-subsistem yang menjalankan tugas dan fungsinya untuk mencapai suatu tujuan tertentu, dalam hal ini melihat kedudukan yang dimiliki oleh institusi kejaksaan yang merupakan bagian dari subsistem yang telah ada dan relevansinya dengan KPK sebagai struktur baru dalam pemberantasan korupsi
[1] Arief, Barda Nawawi, 1998, Strategi kebijakan nasional dalam penanggulangan Korupsi di Indonesia dan Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, halaman 5
[2] Muladi, 1995, Kapita selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, halaman 7
[3] Ibid, halaman 120
[4] Ibid, halaman 25
[5] M Blau ,Peter dan M. Meyer, Marshall, 1987. Birokrasi dalam Masyarakat Modern, UI Press, Jakarta, halaman 14

[6] Muladi, Pembinaan Narapidana dalam Kerangka Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, 1988, Makalah pada Seminar Pembinaan Narapidana di Indonesia, FH-UI
[7] Packer, Herbert L., The Limits Of Criminal Saction, 1969, Standford University Press, page 3


Tidak ada komentar: